Aku dan Mimpiku


Hujan menyapaku lembut….

Dingin dan basah

Jalan Kayutangi yang ku lalui setiap hari

akankah menyimpan rindu kepadaku?

 

Ku pandangi wajahku di cermin. Masih sama dengan aku beberapa tahun yang lalu. Tetap kecil, mungil dan pendek. Apa bedanya?

 

“Tok-tok” ketukan itu membuyarkan lamunanku.

“De~” suara Ibu Kos langsung terdengar.

“Ah Ibu, mari masuk...” aku membukakan pintu dan mempersilakan masuk.

“Hari ini jadi pulang?” tanya Ibu Kost.

“Iya ibu, Insya Allah….”

“Tidak terasa, sudah empat tahun ya kamu disini.”

“Iya ya bu… Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya datang ke kost ini” lamunanku menyeruak lagi. Kembali kemasa aku yang beberapa tahun yang lalu.

 

***

 

 “Aku tidak ingin menjadi dewasa!” kata-kata itu langsung meluncur dari bibirku.

Mama memperhatikanku dengan wajah yang khawatir. Sementara Papa yang dari tadi menceramahiku langsung terdiam.

Hening.

Terdengar rintihan tirai jendela kamarku… yang bergidik disapa angin.

Tidak ada suara apapun lagi.

Pertengkaran berakhir…

Papa… diam seribu bahasa. Tangannya masih mengepal di udara.

Ku pikir, tangan itu… tadi ingin menamparku.

 

***

      Tak seperti hari-hari biasanya, ku telusuri koridor kampus dengan langkah gontai. Teman-teman ku memperhatikan langkah ku dalam diam. Berjuta tanya mungkin menyinggahi benak mereka. Aku yang biasanya berlarian sepanjang koridor, entah itu karena terlambat atau karena ingin berlarian saja, sekarang jadi diam begini. 

Maafkan aku… masa-masa seperti itu mungkin tidak akan ada lagi….

Aku harus berubah.

Itulah yang mereka inginkan. Orang-orang dewasa yang ada di sekitarku.

 

***

      Kuperhatikan... bayanganku… yang mulai memanjang. Hari semakin sore, matahari mulai menampakkan warna merah-jingga di langit. 

Aku ingin pulang….

Pulang ke masa-masa itu. Dimana aku bisa dengan bebas bermain… dengan wajah lugu dan hati yang polos.

 

“Kenapa harus menjadi dewasa?

Padahal aku belum menginginkannya. Kenapa harus dipaksa?

Toh, mau tidak mau aku pasti jadi dewasa. Aku tidak ingin menjadi dewasa seperti

kalian! Para wajah munafik yang menebarkan luka.

Dewasa?

Cih! Hanya karena kalian sudah tua lalu bisa dikatakan dewasa?

Justru kalianlah yang tidak mengerti! Ketamakan, kebohongan, kekuasaan, materi,

itulah kedok sebenarnya dibalik kata ‘dewasa’ yang kalian banggakan itu”.

 

       Semua pikiran bergejolak dalam kepalaku. Seperti ombak yang terus menghantam bibir pantai. Semuanya kini menjadi basah oleh pasir kehidupan, air mataku tumpah. 

 

Ada apa?” Nurul yang memperhatikanku dari tadi menyapaku lembut. Dia mengusap-ngusap punggungku.

“Tidak apa-apa kok Rul, tadi mata ku kelilipan” dengan senyum manisku balas tatapan kasih sayang dari sahabatku itu. Ia pun tersenyum simpul menyeka air mataku dengan jemarinya yang lembut.

“Kalau mau menangis, sini bersandar di bahuku” Nurul menawarkan semua perhatiannya dengan sentuhan-sentuhan yang tulus. Mengusap punggung tanganku dalam diamnya. Nurul sahabatku, sungguh sifatmu yang seperti inilah yang menurutku dewasa dalam arti yang sebenarnya. Tidak seperti tuntutan orang-orang dewasa diluar sana. Orang dewasa yang tidak kami mengerti, mereka selalu mengatakan “kalian tidak mengerti!” menuntut ribuan kewajiban yang harus kami turuti. Bukankah justru kalian, orang-orang dewasa yang tidak mau mengerti kami?

  

***

 

        Hari itu dengan wajah yang dipenuhi keringat Mas Aji mengejarku. Tampak sekali mantan tunanganku itu kelelahan mengimbangi kecepatan lariku. 

“Tunggu De…” pintanya di sela-sela nafasnya yang tidak beraturan.

“Mau apa?” tanya ku ketus. Aku sudah bersandar disisi pagar rumahku.

Ada yang harus kita bicarakan” Mas Aji menyentuh bahuku pelan.

“Aku rasa itu tidak perlu lagi!” ku tepis tangan hangat itu dari bahu mungilku.

“Tapi…”

“Sudah jelaskan? Mas Aji sudah memilih kakak cantik itu. Jadi, sudah tidak ada alasan lagi bagiku untuk bersama denganmu.” aku mengucapkannya dengan cepat sekali.

“Maaf…” Mas Aji menunduk dihadapanku. Wajahnya pucat, sepucat kulitnya yang putih. Tangan yang kutepiskan tadi terlihat bergetar.

“Ya… wajar saja, orang yang berpikiran rasional seperti kamu pasti menganggap semua perjodohan di masa kecil itu adalah lelucon bukan? Aku mengerti, sangat mengerti.” Ku kepalkan jemari tanganku untuk menguatkan hatiku.

“Maaf... Karena hatiku yang lemah” ucapnya lirih. Aku tidak suka dengan situasi ini, inginku berteriak dihadapannya. “Kalau memang tidak mau, bukankah sebaiknya dari awal saja kamu menolakku?”

 Tapi, sudahlah… tak ada gunanya juga aku marah-marah dengannya. Semuanya sudah jelas sekarang. Dengan begini, impianku untuk menjadi Guru pun mungkin bisa terwujud.

“Sudahlah! Aku tidak suka melihat laki-laki menangis! Pulang saja sana! Temui orang tua mu! Lalu batalkan perjodohan konyol ini! Selesaikan?!”

“Tapi…”

“Jangan khawatir, orang tuaku sudah mengetahui keputusanku. Sejak hari aku mengetahui perjodohan ini, aku sudah menolaknya, jauh sebelum Mas Aji menjalin hubungan dengan wanita lain. Lagi pula, mulai bulan depan aku akan kuliah. Jadi, tidak  ada masalah….” ku pandang laki-laki di depanku itu dengan pandangan yang lurus dan tekad yang kuat. Dia harus tahu, aku tidak selemah seperti yang mereka pikirkan. Mungkin aku belum dewasa, tapi aku bisa memandang jauh kedepan.

 

***

 

“Hmmmm” kuhembuskan nafasku perlahan. Ya, keputusanku saat itu memang benar, sekarang aku bisa memetik semua hikmah dari perjalanan hidupku. Jika, dulu aku mati-matian mempertahankan hubunganku dengan Mas Aji mungkin aku tidak akan kuliah dan bisa lulus seperti sekarang.

 

“De, hati-hati di jalan ya…” Ibu kost mengantar kepergianku sampai di depan pintu.

“Terimakasih banyak atas bimbingan dari ibu selama ini.” Kupeluk ibu kost ku itu. Wanita yang sudah membimbingku selama empat tahun terakhir ini.

 

Rintik hujan mulai mewarnai langit. Aku pun segera bergegas, berpamitan dengan adik-adik tingkatku di kost. Kemudian dengan berlari-lari kecilku hampiri kakak laki-lakiku yang sudah menungguku di depan mobilnya. Kakakku yang baik hati. Empat tahun tidak bertemu, beliau terlihat semakin berwibawa dan dewasa.

 

“Ayo kita pulang De…” sapa kakakku ramah.

“Iya kak…” aku mengangguk setuju dan langsung masuk ke dalam mobil.

“Blaaaam!” pintu mobil pun ditutup. Laju mobil ini langsung menuju kampung halamanku. Papa… Mama… aku merindukan kalian….

 

Kini... rintik hujan sudah menjadi butir-butir gerimis yang menyapu jalan. Ku buka kaca jendela mobil perlahan. Ku sentuh butir-butir air itu. Sama dengan hari dimana aku berangkat, suara air hujan mengiringi kepergianku kali ini. Nyanyian hujan menghiasi langit. Ia menyapaku lembut… dingin dan basah. Mobil melaju di jalan Kayu tangi. Jalan yang setiap hari ku lalui menuju kampus. Akankah jalan ini merindukanku?