Helm

Pagi itu aku terlambat bangun, padahal upacara bendera dimulai pukul tujuh pagi. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan tanpa sarapan langsung menuju sekolah. Sepanjang jalan aku mengendarai sepeda motor dengan kencang. Aku hanya memerlukan waktu lima menit. Sesampainya di pintu gerbang sekolah Pak satpam mencegat ku, dengan cepat ku gas sepeda motor untuk menghindari pak satpam. Terdengar teriakan terkejut dari Pak satpam, tapi aku tidak menghiraukannya lagi.

“Yang penting aku tidak terlambat upara bendera!”

Aku pun lolos di rintangan pertama. Ya, tinggal satu pintu pagar lagi untuk menuju halaman dalam sekolah.

“Huh… sekolahku ini sungguh menyusahkan saja. Ngerepotin banget! Halaman saja ada dua! Mana upacaranya di halaman dalam lagi!” dengan menggerutu aku menyetir sepeda motorku menyusuri jalan kecil di taman depan sekolah.

“Tet…tet…tet….” Lonceng tanda upacara sudah berbunyi.

“Aaaaah tidak sempat lagi menuju parkiran!” pekik ku.

Tanpa pikir panjang aku rem sepedaku dan meletakkannya sembarangan saja di depan kantor kepala sekolah. Pintu pagar terdekat ada di samping kantor guru yang bersebrangan dengan kantor kepala sekolah. Dengan cepat aku berlari menuju pagar terdekat sambil berdoa dalam hati.

“Ya… Allah… semoga Dhe tidak terlambat! Amin….”

Tinggal dua langkah lagi, pintu pagar akan ku lalui. Seketika itu juga langkahku terhenti ketika Pak Kasno menutup pintu pagarnya.

“Kyaaaaaaa!! Tidak! Tunggu bapak!” teriakku. Pak Kasno guru Akutansiku itu hanya tersenyum dan berlalu meninggalkaku.

“Wuaaa… Bapak tega!! Bukakan pintunya!!” aku menangis dan terduduk di depan pintu pagar.

“Habis sudah! Nasibku! Kali ini aku terlambat! Hiks… hiks… hiks…”

Mendengar aku yang menangis Pak Kasno pun kembali sambil menggelengkan kepalanya.

“Wong gak ku Kunci kok Dhe!” dengan logat Jawanya yang kental, Pak Kasno membukakan pintu dan tersenyum kepadaku.

“Ayo cepet! Nanti terlambat upacara!” perintah Pak Kasno terdengar menenangkan hatiku. Aku pun tersenyum lega dan mengangguk setuju sambil membungkuk aku melewati Pak Kasno dan langsung menuju halaman dalam sekolah. Beberapa siswa yang lain pun terlihat berlarian. Aku pun bergegas dan melempar tas ransel ku di bangku taman sekolah dan berlari kencang menuju barisan kelasku. Bergabung dengan teman-temanku yang lain.

“Hosh… hosh… save! Selamat aku selamat! Alhamdulillah….” Aku terbungkuk-bungkuk dan mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Teman-teman satu kelasku bertepuk tangan seperti menyambut kedatangan seorang pemenang lari.

“Apanya yang menyenangkan?” pikirku. Bibie menghampiriku dan menepuk pundakku. Temanku yang tinggi dan besar itu memujiku.

“Kecepatan larimu selalu mengagumkan Dhe, hehehe…”

“Un! Makasih! Phiuuuh…” masih terengah-engah ku seka keringat di keningku. “Kenapa kepalaku jadi berat?” pikirku. Bibie yang berdiri di sebelahku tersenyum simpul.

“Eeeeehhh??? Kok?” aku menjerit dan memandang ke sekitarku. Teman-temanku juga memandangku.

“Apa ini di kepalaku? Aaaaaaaaaa …” ternyata aku lupa melepas helm.

“Hahaha… hahaha… hahaha” suara tawa teman-temanku pun meledak riuh. Membuat semua pandangan peserta upacara menuju ke barisan kelas kami. Mereka menertawakanku dan ada juga yang menepuk-nepuk pundakku. Sebagian yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya dari tadi mereka menahan diri untuk tidak tertawa melihatku yang berlari dengan masih memakai helm di kepala.