Malam senin, waktu aku handak guring mataku ngantuk banar sudah, padahal hanyar jam sapuluh. Ku pacul kacamataku, ku andak tang ranjang kamar. Habis tu hanyar ku itihi jadwal kuliahku gasan isuk.
“Oh, jam sembilan jua,” kawa ba’santai. Sabalum guring aku badoa. Kada lawas habis tu, taguring dah ku sampai pagi.
Aku kada ingat bamimpi apa, nyaman banar dah guring malam tadi. Habis minum ubat pang jua ku malam tadi, apa da lagi taguring banar ku. Parak jam anam hanyar ku bangun. Lagi datang bulan pang, jadi kada apa-apa kalu ku malandau. Ku simpuni buku-buku gasan kuliah, habis tu manyatrika baju. Lambat banar ku gawi barataannya, masih jam tujuh jua.
“Tok…tok…tok…Dhe…” ada yang mangatuk lawang kamarku.
“Eh? Husnul? Napa sungsung banar? Jam barapa gerang kita masuk?” Husnul maambili aku nang kaya biasanya jua, tapi ni sungsung banar kalu meambili jam seini.
“Kita masuk jam setengah delapan Dhe…”
“Hah? Bujur-bujur?” ancap kuambil jadwal. Astagfirullah… malam tadi aku salah malihat jadwal.
“Satumatlah, aku mandi dulu” langsung kuambil anduk, ancap ku turun ke kamar mandi. Syukur kada baantri. Biasanya jam seini banyak yang baantri mandi.
Kada lawas aku babaju, maambil sapatu hanyar ka parkiran kandaraan. Ku cuba memanasi kandaraan, tapi kada mau hidup jua. Astagfirullah… kenapa pulang kiandaraanku ni? Dua hari pang sudah kada ku pakai. Maraju kah jua? Ku cubai lagi, tapi kada mau jua. Husnul yang malihat aku kangalihan manyalai kandaraan langsung mandatangiku. Mambantui mangangkat kandaraan. Tapi nang ngarannya kami ni halus-halus urangnya. Aku 146cm na tahu am Husnul barapa, nang jalas inya tu awaknya halus pada aku. Dua urang halus nang kaya kami ni, kada kuat jua mangangkat kandaraan Mio yang barat. Batis ku tatindih ban balakang kandaraan sakit banar rasanya. Tapi, kada papa kami cubai pulang. Alhamdulillah… pas nang kadua bisa kami naik akan, hanyar ku cuba manyalai pulang. Dingin banar ai kandaraan ni pinanya.
Sampai di kampus, kami mancari kalas. Talambat dua puluh manit, syukur Dosen kada sarik.
Ya Allah… alhamdulillah… bisa sampai jua kami ka kampus. Kainanya kuitihi lagi bujur-bujur jadwal kuliah. Biar kada talambat pulang kami masuk kuliah.
Pagi itu aku terlambat bangun, padahal upacara bendera dimulai pukul tujuh pagi. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan tanpa sarapan langsung menuju sekolah. Sepanjang jalan aku mengendarai sepeda motor dengan kencang. Aku hanya memerlukan waktu lima menit. Sesampainya di pintu gerbang sekolah Pak satpam mencegat ku, dengan cepat ku gas sepeda motor untuk menghindari pak satpam. Terdengar teriakan terkejut dari Pak satpam, tapi aku tidak menghiraukannya lagi.
“Yang penting aku tidak terlambat upara bendera!”
Aku pun lolos di rintangan pertama. Ya, tinggal satu pintu pagar lagi untuk menuju halaman dalam sekolah.
“Huh… sekolahku ini sungguh menyusahkan saja. Ngerepotin banget! Halaman saja ada dua! Mana upacaranya di halaman dalam lagi!” dengan menggerutu aku menyetir sepeda motorku menyusuri jalan kecil di taman depan sekolah.
“Tet…tet…tet….” Lonceng tanda upacara sudah berbunyi.
“Aaaaah tidak sempat lagi menuju parkiran!” pekik ku.
Tanpa pikir panjang aku rem sepedaku dan meletakkannya sembarangan saja di depan kantor kepala sekolah. Pintu pagar terdekat ada di samping kantor guru yang bersebrangan dengan kantor kepala sekolah. Dengan cepat aku berlari menuju pagar terdekat sambil berdoa dalam hati.
“Ya… Allah… semoga Dhe tidak terlambat! Amin….”
Tinggal dua langkah lagi, pintu pagar akan ku lalui. Seketika itu juga langkahku terhenti ketika Pak Kasno menutup pintu pagarnya.
“Kyaaaaaaa!! Tidak! Tunggu bapak!” teriakku. Pak Kasno guru Akutansiku itu hanya tersenyum dan berlalu meninggalkaku.
“Wuaaa… Bapak tega!! Bukakan pintunya!!” aku menangis dan terduduk di depan pintu pagar.
“Habis sudah! Nasibku! Kali ini aku terlambat! Hiks… hiks… hiks…”
Mendengar aku yang menangis Pak Kasno pun kembali sambil menggelengkan kepalanya.
“Wong gak ku Kunci kok Dhe!” dengan logat Jawanya yang kental, Pak Kasno membukakan pintu dan tersenyum kepadaku.
“Ayo cepet! Nanti terlambat upacara!” perintah Pak Kasno terdengar menenangkan hatiku. Aku pun tersenyum lega dan mengangguk setuju sambil membungkuk aku melewati Pak Kasno dan langsung menuju halaman dalam sekolah. Beberapa siswa yang lain pun terlihat berlarian. Aku pun bergegas dan melempar tas ransel ku di bangku taman sekolah dan berlari kencang menuju barisan kelasku. Bergabung dengan teman-temanku yang lain.
“Hosh… hosh… save! Selamat aku selamat! Alhamdulillah….” Aku terbungkuk-bungkuk dan mengatur nafasku yang tersengal-sengal. Teman-teman satu kelasku bertepuk tangan seperti menyambut kedatangan seorang pemenang lari.
“Apanya yang menyenangkan?” pikirku. Bibie menghampiriku dan menepuk pundakku. Temanku yang tinggi dan besar itu memujiku.
“Kecepatan larimu selalu mengagumkan Dhe, hehehe…”
“Un! Makasih! Phiuuuh…” masih terengah-engah ku seka keringat di keningku. “Kenapa kepalaku jadi berat?” pikirku. Bibie yang berdiri di sebelahku tersenyum simpul.
“Eeeeehhh??? Kok?” aku menjerit dan memandang ke sekitarku. Teman-temanku juga memandangku.
“Apa ini di kepalaku? Aaaaaaaaaa …” ternyata aku lupa melepas helm.
“Hahaha… hahaha… hahaha” suara tawa teman-temanku pun meledak riuh. Membuat semua pandangan peserta upacara menuju ke barisan kelas kami. Mereka menertawakanku dan ada juga yang menepuk-nepuk pundakku. Sebagian yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya dari tadi mereka menahan diri untuk tidak tertawa melihatku yang berlari dengan masih memakai helm di kepala.
dhe chan itu chibi dan kawai... anak manis yang sangat mencintai chinen ahahaha (narsis mampues) gomen ne isinya Chinen semua dengan segala kegendengan imajinasiku yang polos ini... hahahaha polos dimananya say??? *digebukin sepatu chinen)
aku sangat suka fotografi (bener gak nich tulisannya?)
hehhe dimanapun kapanpun pengen poto2 terus~
i like my smiLe
aku menyukai senyumanku di kamera itu~
sangat tersiksa kalo disuruh poto tanpa senyum =_=